Follow us on social

pestakampung.id

  /  Blog   /  Berbagi Pengalaman Membaca Buku dan Berdongeng di Festival Orang Biasa

Berbagi Pengalaman Membaca Buku dan Berdongeng di Festival Orang Biasa

Oleh Moses Egideon Beato Lanjong

Bagaimana kalian membayangkan frasa ‘orang biasa’ sebagai bentuk dan medan reproduksi pengetahuan? Atau, bagaiamana pengalaman kalian tentang “orang biasa”? Tentu ada begitu banyak kemungkinan jawaban dan bentuk yang diberikan. Juga, tidak ada definisi yang tetap atau jawaban tepat kecuali dalam pengertian leksikal yang ada di Kamus Besar Bahasa Indonesia yang tercinta.

Cerita atau katakanlah pendapat dari setiap orang tentang “orang biasa tidak selalu baku atau beku. Ia melebar seturut kemungkinan lain yang dari cara pandang yang kaya. Di sini, saya tidak mencoba mengurai persoalan kebahasaan, melainkan berupaya mengisahkan “Orang-Orang Biasa” seperti dalam judul novel karya Andrea Hirata dan Pesta Kampung 2023 yang mengusung tema tahun pertamanya dengan frasa, “Festival Orang Biasa”. Mari.

 

 

Bincang Buku “Orang-Orang Biasa”

Ada sesuatu yang perlu diperbincang. Buku menjadi salah satu hal yang memungkinkan. Buku itu adalah novel “Orang-Orang Biasa” karya Andrea Hirata. Buku yang sudah dibagi jauh hari kepada empat sekolah yang hadir sore itu, sekitar dua minggu sebelum 19 Oktober 2023, hari pertama festival Pesta Kampung diadakan.

Bincang buku yang sedianya diadakan jam tiga sore hari itu sedikit molor. Menunggu kehadiran teman-teman peserta dari sekolah menjadi hal yang tidak begitu melelahkan. Berkeliling vanue festival, atau membeli makanan ringan yang disediakan lapak-lapak kecil di halaman waterfront Labuan Bajo. Yang pertama datang adalah lima orang siswa dari SMK 3 Labuan Bajo, kemudian  enam orang dari Madrasah Aliyah Negeri, diikuti lima orang siswa dari SMAK Stella Maris, dan terakhir lima orang siswa dari SMA Lentera Harapan. Mereka datang bersama seorang guru pendamping dari sekolahnya. Semua sekolah tersebut tersebar di sekitaran Labuan Bajo. Serli, Ovin, saya juga beberapa teman panitia lain menuntun teman-teman dari empat sekolah ke ruangan di bawah tribun penonton di bagian selatan waterfront—di mana dua hari kemudian, di atas tribun ini penuh manusia yang ingin menonton penutupan Pesta Kampung yang turut mengahadirkan mantan vokalis Payung Teduh, Is dari Pusakata.

Di dalam ruangan dengan jendela besar yang menghadap taman tengah, kami berbagi kue juga minuman dan tentunya cerita. Seperti di acara kumpul-kumpul keluarga, ada banyak cerita yang muncul sebelum atau setelah waktu makan. Orang-orang yang datang duduk bersila membentuk lingkaran walaupun tidak bisa disebut bulat utuh. Duduk yang dimaksud sebagai “usaha menghidari ruang kelas” dengan meja kursi siswa dan guru yang ada di depan kelas. Walaupun memang beberapa di antara mereka masih ada yang mengenakan seragam sekolah. Di antara mereka masih ada canggung atau memang hanya ingin duduk di dekat teman-teman satu sekolahannya.

 

Teman peserta berbagi pengalaman membaca buku novel karya Andrea Hirata di Pesta Kampung 2023: Festival Orang Biasa yang dipandu oleh Beato dan Serli (Foto oleh Ans Ikun)

 

Menuju jam empat sore, setelah kami sudah ada dalam ruangan yang sama. Saya lalu mulai berbicara, meperkenalkan diri, mengucap salam, bertanya kabar dan bertanya dari mana saja asal sekolah mereka masing-masing. Tidak ada yang bertindak sebagai pemantik sebagaimana yang biasa saya ikuti dalam bincang buku sekolah bersama-sama Klub Buku Petra. Kami sepakat bahwa siapa saja bisa mulai bercerita bila ia siap atau bertanya bila ia ingin. Walau memang kemudian jalannya bincang buku itu seolah berurutan. Melingkar mulai dari kanan, melawan arah jarum jam. Di saat-saat seperti itu, kesenangan membaca buku bukan lagi menjadi milik sendiri. Membagikan pengalaman pembacaan adalah suatu cara lain menikmati buku, mengajak orang lain mendengar cerita dan masuk dalam cerita, menyampaikan kesan atau pengetahuan yang didapati setelah membaca.

Tampaknya, kebanyakan dari mereka menemukan dan melihat cara penulis membangun karakter rekaan mereka, menemukan hal yang aneh dalam cara bertutur narator, mengenal sejarah dari sudut-sudut yang lain, menghubungkan diri dari tokoh-tokoh dalam cerita, membangun empati sebagaimana tokoh dalam cerita tumbuh (menjadi lebih baik), melihat dunia dengan cara yang lain; sekali mendengar cerita, dunia tak lagi sama.

Seperti saat Seaz, seorang siswa Madrasah Aliyah Negeri Labuan Bajo yang berkomentar mengenai ketidaksukaannya terhadapat tokoh ibu Decimal yang mengelompokan murid seturut yang pintar dan bodoh. Tentang hal ini, ia mengenang seorang gurunya semasa SMP dulu. Setelah sampai pada bagian cerita itu, ingatan semasa SMP menyertai rasa ketidaksukaannya terhadap tokoh ibu Decimal. Bagaimana gurunya itu bertindak sama seperti ibu Decimal seperti dalam novel.

Hal yang sama juga ditemukan oleh seorang murid dengan kulit sawo matang dan rambut kriwil yang dikepang indah. Baru diketahui kemudian kalau ia adalah seorang anak dari orang tua yang berasal dari Ambon. Ia adalah seorang siswi dari SMA Lentera Harapan. Ia malah melihat dari sisi lain cerita itu. Dengan nada lembut juga anggun ia mengatakan bahwa “setiap nilai dari tugas yang diberikan adalah sebuah usaha terbaik kita.” “Tentu kita sebagai murid mestinya tetap belajar”, begitu sambung seorang siswi dengan seragam putih abu-abunya yang berasal dari SMAK Stella Maris.

Di Kota Belantik, tempat paling damai dan naif itu, latar cerita berlangsung. Di pojok kiri saya, sambil menyadar pada dinding ruangan itu, duduk seorang siswi dengan baju biru dan rok panjang biru seperti warna rok seragam SMP. Dia adalah seorang murid dari SMA 6 yang menangkap hal menarik dalam cerita. Tentang nama-nama tokoh dalam cerita. Nama dari kawan-kawan Aini. Debut Awaludin yang selalu menjadi penggagas atau inisiator dari teman-temannya, ibu Decimal yang berperan sebagai seorang guru matematika, Salud sebagai seorang yang selalu memberikan apresi, atau Handai sebagai seorang tokoh yang selalu berandai-andai. Bagi teman bincang itu, ia berhasil mendapat makna dibalik nama-nama tokoh yang digunakan penulis dalam novelnya.

Sementara itu, Cia seorang siswi kelas dua dari SMA Lentera Harapan mengalami sesuatu yang lain. Ia yang menyukai cerita-cerita yang sad ending atau cerita-cerita yang mengandung bawang merah lainnya, yang membuatnya ikut bersedih saat membaca. Dari beberapa teman bincang yang disebutkan di atas, cukup banyak hal menarik yang membawa kami pada cerita yang intens. Walau kami baru mengenal satu sama lain. Selain itu juga, ingatan mereka mulai dibuka dari dalam teks (novel) atau mendengar kesan pembacaan dari teman bincang lain yang disandingkan dengan konteks yang mereka temukan, alami. Teks dan konteks bertaut. Seperti sibuk membuka halaman yang baru lalu kemudian kembali lagi ke halaman terdahulu untuk menemukan sesuatu yang membuat kami paham, atau nostalgia. Seperti saya saat membandingkan apa yang dilakukan sepuluh sekawan yang berusaha merampok bank dengan film Robin Hood. Di mana seorang tokoh lelaki yang pandai menggunakan busur dan  pedangnya untuk mencuri sebanyak mungkin dari orang kaya dan kemudian hasil curiannya diberikan kepada orang miskin. Awal mengenal film itu dari klip bajakan lagu Bryan Adams yang judulnya Everything I Do. Karena tingkah sepuluh sekawan dan kisah Robin Hood itu saya terbawa pada potongan ingatan semasa SD dulu.

Lanjut lagi ke novel. Tentang tindakan merampok sebuah bank dari sepuluh sekawan itu, dirasa ada sesuatu yang perlu dipertanyakan. Misalnya dari seorang yang siswa yang dengan hijab coklat, kulit sawo matang, dengan tinggi badan kurang lebih satu meter itu. Ia mempertanyakan lagi bagaimana perasaan kami bila mencapai sesuatu, misalnya—dalam hal ini Aini yang ingin kuliah di jrurusan kedokteran dengan biaya kuliah yang terkenal mahal itu—dengan tindakan yang salah seperti mencuri? Bagi dia, ada prinsip bahwa tujuan yang baik tidak menghalalkan cara. Tujuan ingin membiyayai kuliah di fakultas kedokteran tidak menghalalkan rampok sebagai cara terbaiknya. Pernyataan dan pertanyaannya menggugah dengan beberapa pengetahuan moral agamanya disampaikan dengan suara tegas dan tetap sopan. Ia saat itu—atau sekurang kurangnya bagi saya— membiarkan kami berpikir lagi bila hal tersebut terjadi pada kami. Dan lagi, tokoh yang paling sering disebut dalam bincang buku sore itu adalah Aini, si anak miskin yang bercita-cita ingin menjadi dokter. Masing mereka selalu setuju bagaimana tokoh Aini adalah sosok inspiratif yang menggugah mereka masuk mengalami cerita. Apalagi dengan teman-temannya yang selalu setia menemani perjalanan dan usaha Aini mencapai cita-citanya. Namun, cerita tidak selalu menemukan kata setuju, bila ada yang dirasa perlu dipertanyakan lagi bagimana cerita bergulir. Menarik.

Tidak semua teman-teman yang hadir saat itu membaca selesai novel tersebut. Entah karena alasan waktu yang terlalu mepet, atau karena banyak tugas sekolah lain yang mengambil waktu yang lebih banyak dibanding membaca novel. Ada juga yang tidak membaca sama sekali novel tersebut. Mereka datang karena dipilih oleh gurunya. Mereka masuk sebagai orang-orang yang setia mendengar pelbagi kesan pembacaan dari teman-teman bincang buku lain. Tidak ada yang menghukum mereka karena tidak membaca.

 

Seorang siswi SMA Lentera Harapan sedang berbagi ceritanya (Foto oleh Ans Ikun)

 

Sejujurnya saya sendiri senang akan keberadaan mereka saat itu. Posisi saya dan beberapa teman yang tidak membaca sama sebetulnya, belum membaca novel itu sama sekali. Yah, sayang sekali memang. Walau begitu, kami beruntung mendapat bagian dalam bincang buku sore itu. Saya, seperti juga mereka yang tidak membaca, adalah orang-orang yang tidak mendapat buku untuk dibaca. Walaupun saya sendiri berada saat itu sebagai perwakilan dari Klub Buku Petra yang menjalin kerja kolaborasi dalam festival Pesta Kampung. Saya hanya dibekalkan dengan bacaan-bacaan dari review buku yang diterbitkan secara daring dari beberapa kanal website di internet. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul kemudian menjadi cara lain kami mengetahui isi novel itu. Memang tidak begitu dalam atau kami tidak betul mengetahui sebenarnya di bagian mana tepatnya cerita tentang Anini yang memilih berhenti sekolah untuk merawat ayahnya yang kemudian di bagian cerita lain, ayahnya itu meninggal. Sekali lagi, bahwa kesenangan membicarakan buku yang dibaca bersama tidak seharusnya menjadi milik sendiri. Melihat celah untuk menciptkan kebutuhan membaca atau mengolah pengetahuan dari cara bertutur yang akrab adalah niscaya. Sekaligus menyampaikan bahwa kegiatan membaca adalah sesuatu yang menyenangkan.

Menuju sore. Sekitar hampir dua jam lebih kami berbagi cerita. Tidak lama memang, namun seru. Di festival Pesta Kampung: Festival Orang Biasa, kami berbagi pengalaman membaca novel “Orang-Orang Biasa”. Entah ini suatu kebetulan atau tidak. Dan, bila memang suatu kebetulan, ini sebentuk kebetulan yang indah, sebuah serendipity. Setidaknya hal itulah yang membuat kami bisa berbagi cerita dan tawa. Mengamyampaikan kesan pembacaan dan mendengarnya. Selebihnya hanya bonus. Astagahh.

 

Tidak Banyak yang Ingin Mendengar Dongeng

Bukan waktu yang tepat memang. Bukan waktunya untuk tidur apalagi untuk mendongeng. Mereka sedang ingin bermain di tengah ramai suara musik, cerita-cerita orang di gerai dagangan, hilir mudik orang atau terang lampu-lampu kuning yang tergantung jauh di atas kepala. Saya bersama Ovin malah berusaha mendongeng bersama anak-anak. Ini adalah bagian dari usulan tambahan saya mengenai apa yang akan dibuat di hari kedua, malam kedua festival Pesta Kampung 2023.

Anak-anak yang berusaha saya kumpulkan sejam sebelum pukul delapan malam itu, sedang sibuk dengan balon atau saling kejar-kejaran. Walaupun saya sudah meminta izin kepada orang tua mereka, anak-anak itu melilih sesuatu yang lebih menarik di waktu-waktu seperti malam itu. Tapi ya itu tadi. Mereka memilih bermain dan tertawa dengan hal-hal sederhana seperti kenapa balon hijau melayang kian kemari saat dipukul-pukul atau minta dibelikan jajan sesuatu dengan yang mereka tunjuk dengan jari kecil imutnya. Tidak ada yang salah dengan hal itu. Bila mungkin saya kembali kemasa kecil seperti mereka, saya akan memilih hal yang sama. Bermain dan jajan seperti malam saat Pesta Kampung itu berlangsung.

Saya bersama Ovin kemudian bertemu dua orang anak yang ingin dikisahkan dongeng. Dongeng tentang Empat Lebah Bersaudara. Dongeng tentang ikatan persaudaraan yang diliputi berbagai persoalan hidup yang menuntut mereka agar selalu bersama. Dongeng tentang bagaimana ego dari masing-masing saudara lebah ingin dikedepankan. Dan peran kakak sulung lebah yang berupaya menjadi lebih bijaksana merangkum saudara-saudaranya yang lain setelah orang tua lebah mati.

Saya tidak mengingat dua teman saya saat mendongeng malam itu. Saya memang susah mengingat nama, namun bila melihat mereka berdua lagi, saya akan mengenalinya—hal ini tidak mungkin bila kejadian ingin bertemu mereka lagi setelah paling kurang dua tahun setelah malam itu karena mereka sudah bertambah tua.

 

Anak-anak berpose di photobooth dengan latar mural karya kolaborasi Peanutdog dan Memo Johar (Dokumentasi oleh Syahrul Baco)

 

Dengan bantuan foto kami di photobooth Pesta Kampung. Seorang anak laki-laki kelas empat SD yang datang bersama orang tuanya malam itu. Orang tuanya sedang duduk bersama kerabat lain di salah satu stand makanan tidak jauh dari tempat kami mendongeng. Begitu anak itu menunjuk ke arah yang hampir berhadapan dengan kami. Dia ada di situ atas ajakan dari Ovin. Setelah ia duduk dekat saya, saya memastikan dia diizinkan orangtuanya. Hal ini saya buat agar tidak ada hal-hal yang tidak diinginkan. Dan memang kebetulan, posisi duduk dari kedua orang tuanya itu langsung dapat dijangkau mata mereka. Syukur dia diijinkan. Dan seorang anak laki-laki lain yang sesaat sebelum waktu mendongeng menjajakan minuman kopi kemasan dengan termos di tangan kanannya. Untuk anak yang kedua ini, ia datang bersama kedua orang tuanya menjajakan makanan dan minuman ringan yang dibuka di karpet sederhanana milik mereka. Mereka datang dari salah satu pulau lain yang tidak jauh dari Labuan Bajo. Mengetahui akan ada acara besar di dekat pelabuhan kapal, ia bersama kedua orang tuanya dan seorang kakak perempuannya datang dengan ide akan menjajakan makanan dan minuman ringan di dekat vanue festival. Tepatnya di belakang area mini stage Labuhan Swara, di panggung tempat Lipooz, musisi rap asal Ruteng dan salah satu personil rap terkenal Muka Rakat itu membagikan pengalaman kreatifnya dalam sesi bincang musik di malam sebelumnya.

Ada satu soal yang membuat saya berpikir cukup keras waktu itu. Bagaimana caranya biar mereka tetap duduk bertahan bersama saya mendengarkan dongeng di waktu yang tidak tepat itu? Pasti ada cara. Membelikan mereka sempol goreng masing-masing lima ribu rupiah, guyss. Pindah tempat selembar uang sepuluh ribu dari dompet saya ke penjual sempol. Mereka menikmati sempolnya sambil duduk menyadar hampir seperti rebahan di atas bantal besar. Setelah selesai sesi mendongeng, saya mengajak mereka agar membuang bungkusan plastik makan mereka ke trashbag, atau berusaha menjelaskan beberapa hal yang mereka tanyakan kepada saya di luar dongeng yang saya bagikan kepada mereka.

 

Pesta permainan di Pesta Kampung 2023 (Dokumentasi oleh Syharul Baco)

 

Setelah mendongeng itu selesai, setelah cukup bertukar tanya dan jawab dan membuang sampah plastik, kami bermain ular tangga. Lalu di akhir, saya meminta mereka untuk foto bersama kedua teman mendongeng saya malam itu di depan mural yang dibuat Peanutdog dan Memo. Sekali meminta ibu yang kebetulan lewat untuk mengambil gambar kami di photoboot ilustrasi empat generasi khas Pesta Kampung.

Dari awal sampai akhir pertemuan kami, saya terseyum, tertawa bila ada hal yang lucu, atau bahkan memegang dahi tanda pusing kadang-kadang mendengarkan pertanyaan yang terlampau banyak dari kedua teman mendongeng itu. Sampai kemudian kami berpisah. Malam sebelum jam sepuluh atau sebelah barangkali. Saya lupa kapan tepatnya. Bila bertemu lagi, saya atau kailan yang akan mendongeng. Saya menyampaikan terima kasih kepada mereka berdua yang lupa saya ingat namanya itu, sambil mengatakan “sampai jumpa lagi kawan.”

 

Akhirnya

“Masih perlu merasa kehilangan dulu baru bisa detail.” Begitu tulis Aden dalam pesan whatapp-nya suatu ketika kepada saya. Saya setuju, walau memang keadaannya tidak selalu begitu. Cerita dalam tulisan di atas sebenarnya melibatkan banyak tokoh, banyak orang. Sial, saya lupa beberapa nama orang yang memang harus disebutkan sebagai keperluan cerita. Saya tidak bermaksud menghilangkan nama dan andil mereka selama kegiatan berlangsung. Bila sesekali memeriksa kembali gambar di galeri dalam gawai, saya tetap mengingat kembali masa-masa itu.

Menyediakan dan membentuk cerita seperti yang kalian baca ini adalah bentuk sederhana yang diupayakan ada. Terima kasih untuk kalian semua yang saya lupa namanya. Kalian ruar biasa. Dan, cerita tidak habis ditulis berlembar-lembar halaman atau dikisahkan kembali dengan tutur yang tak habis bila anda sekalian bersedia mendengarnya. Kami hanya memutuskannya untuk selesai. Mengingat rundown kegiatan, mengingat hari sudah menuju gelap, mengingat semua ada waktunya, ada batasnya.

Dari gambar foto dan video yang saya lihat rincian waktunya, mengumpulkan kesan dan penglihatan yang saya benam rekamkan di dalam isi kepala. Atau memeriksa lagi beberapa percakapan penting di chat whatsapp yang tersimpan sebelum dan sesudah festival Pesta Kampung berlangsung. Walau memang, ada-ada saja yang terlupakan atau terlewatkan dari sebuah kisah. Dan seperti menjadi keharusan bagimu untuk tetap bercerita tentang orang biasa. Iya. Baik cerita dalam novel “Orang-Orang Biasa” karya Andrea Hirata dan “Dongeng Lima Lebah Bersaudara” melibatkan banyak tokoh. Ada begitu banyak yang saya alami selama festival Pesta Kampung. Membicarakan banyak orang adalah juga bagian dari cara saya menemukan dan mengupayakan kerja kolektif yang melibatkan banyak orang. Begitu kira-kira. Dan sebelum saya lupa. Ternyata, “orang-orang biasa” itu adalah kita-kita ini. Astagahh! ●

About The Author

Beato berasal dari Ruteng. Aktif dalam beberapa kegiatan kolektif seputar dunia literasi dan budaya. Saat ini Beato bekerja sebagai pustakawan Klub Buku Petra Ruteng. Bertalian dengan kegiatan literasi tersebut, ia juga menjadi salah satu peserta dalam lokakarya Penelitian Visual Kota dengan mengikuti pelatihan proses riset, fotografi, dan penulisan riset yang digagas oleh lembaga penelitian Tanahindie di Makkasar. Menjadi peserta lokakarya dalam Bengkel Penerjemahan Dwi Bahasa yang diselenggarakan atas kerja sama Klub Buku Petra dan Badan Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam proyek penerjemahan cerita rakyat Manggarai. Dan terakhir, menjadi tim penulis Makassar Biennale 2023 “Asam Garam di Gunung Laut” yang dihelat di Labuan Bajo.

Post a Comment

Translate »
You don't have permission to register