
Pesta Bernyanyi: Rindo Gami Ata Kempo
Rindo gami ata Kempo artinya nyanyian kami orang Kempo. Sitiran dalam sepenggal syair lagu yang diciptakan Gabriel Nobear ini dipinjamkan untuk menandai seri keenam gelaran Road to Pesta Kampung bertajuk Pesta Bernyanyi dalam rangkaian pra-festival yang muncul belakangan sebagai respons dari penelusuran, pencermatan dan pencatatan pengetahuan budaya dalam siklus kerja telusur-rekam-salur pengetahuan dan pengalaman warga. Bahwa kedambaan mendorong festival sebagai ekosistem tak cukup penuh jika belum digenapi pula dengan muatan pengetahuannya.
Sejak Sound of Manggarai sebagai pilot project pendirektorian budaya bernyanyi orang Manggarai digerakkan dengan cara kerja yang parsial, membawa tim kecil di kolektif Videoge mencatatnya sebagai jendela masuk memandang pengetahuan budaya Kempo yang juga kita sadari jarang dibicarakan sebagai khasanah pengetahuan yang dimiliki kawasan barat Manggarai.
Oleh karena itu menyadari adanya kerja-kerja pendokumentasian dan pengarsipan kontekstual ini, demikian setimpal dengan menginisiasi festival yang relevan. Festival yang dimaksudkan sebagai perayaan-perayaan metode kerja yang disesuaikan dengan temuan-temuan atau kesadaran dalam proses berkarya. Dengan begitu kekayaan warisan budaya dan pengalaman sosial yang telah kita miliki sejak lama itu dapat memungkinkan terus berkembang dengan ragam respons kreatif.
Cara inilah yang hendak ditunjukkan Pesta Kampung sebagai ‘festival proses’ yang tak berhenti sebagai ‘proses berfestival’, tetapi sesungguhnya menyoroti daya jelajah dalam proses-proses pembelajaran sebagaimana apa yang terjadi dalam praktik baik eksplorasi dan eksperimentasi sebagai giat untuk menambah kekuatan, nilai estetika, atau motif dari suatu hal demi membangun proses pengkaryaan yang terus berkembang (work in progress) sepadan penyesuaian cara kita hidup dengan semangat zaman yang dinamis. Seturut pula membuka kemungkinan adanya media baru dan cara ungkap yang lain dalam praktik seni dan kewargaan—bertalian antara geliat percepatan kepariwisataan dan pemajuan kebudayaan melalui pendekatan eventual.
Dalam hal ini kesenian yang meliputi riset parsial memungkinkan untuk menguatkan perjalanan produksi karya dan wacananya. Lalu mengapa Kempo? Di sanalah pertanyaan ini dimulai sebagai manuver untuk mengisi kinerja telusur-rekam-salur dapat menemu-kenali orbitnya.
Mari memulainya dengan manga rindo, sebab mengorbitkan kembali budaya ini sama dengan merawat kearifan pengetahuan atas tubuh masa lalu kita mengalami alam raya Manggarai sebagai bukti lain yang sejak lama telah teruji sebagai warisan. Bagaimana pun merawat budaya berarti menjaga alam.
Aden Firman
Labuan Bajo, 25 Oktober 2024