Follow us on social

pestakampung.id

  /  Blog   /  Kabar dari Kota Sulap

Kabar dari Kota Sulap

Oleh Abdul Masli

Wisata, Kota, dan Kolektif Seni

Media telah membangun citra terhadap Labuan Bajo sebagai kota yang tumbuh cepat lewat industri pariwisata. Penetapannya sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP) pada tahun 2016 mengantar daerah ini menjelma magnet bagi wisatawan dunia. Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat juga telah menetapkan Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2014 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten Manggarai Barat Tahun 2014-2025. Hal ini rupanya memberi efek besar terhadap aktivitas pariwisata di sana, terlihat melalui peningkatan data kunjungan wisatawan ke Manggarai Barat, yang pada tahun 2010 mencatat 41.000 kunjungan dan meningkat pada tahun 2019 sebanyak 187.128 kunjungan atau 355%.1

Pada tahun 2018 Labuan Bajo dipilih sebagai destinasi kelas dunia bersama tiga destinasi wisata lainnya yaitu Danau Toba, Borobudur, dan Mandalika. Labuan Bajo ditetapkan menjadi Badan Otoritas Pariwisata (BOP) lewat Perpres No 32/2018 tentang Badan Otorita Pengelola Kawasan Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLF). Penetapan ini kemudian mendorong dilakukannya pembangunan secara masif. Beragam fasilitas ditambah dan dibangun untuk memberikan kenyamanan wisatawan.2 Salah satunya kawasan Parapuar3 yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) dan ditetapkan tahun 2023.

Direktur Utama BPOLBF, Shana Fatina (dalam Hidranto, 2023) mengatakan bahwa destinasi wisata Parapuar memiliki luas 400 Ha yang terbagi dalam empat zona. Pertama, zona budaya (culture district) seluas 114,73 Ha yang akan menampilkan keunikan dan keragaman budaya NTT. Zona budaya berupa pusat budaya, research center, dan area UMKM serta kawasan untuk pengembangan museum. Kedua, zona rekreasi (leisure district) seluas 63,59 Ha, berisi atraksi hiburan dan rekreasi bagi para pengunjung untuk bersantai. Pada zona ini berisi area leisure district, akan ada spa dan wearnes tourism. Ketiga, zona alam liar (wild life district) seluas 89,25 Ha dengan menonjolkan keragaman dan keunikan satwa liar yang ada di sekitar hutan kawasan Parapuar. Pada zona ini akan berisi mini zoo, kemudian edukasi tentang cagar biosfer komodo karena kawasan ini akan dikembangkan land mark of cagar biosfer komodo. Hal ini berangkat dari status Labuan Bajo yang masuk sebagai cagar biosfer komodo, selain berstatus Taman Nasional Komodo. Keempat, zona pertualangan (adventure district) seluas 132,43 Ha, menawarkan pengalaman berpetualang bagi pengunjung dengan berbagai aktivitas menarik dan menantang.4

 

Zonasi Proyek Wisata Parapuar di Labuan Bajo. Sumber: Ekspedisi Indonesia Baru, 2024

 

Percepatan pembangunan melalui parwisata membawa Labuan Bajo pada penyematan “kota sulap”, seperti tertulis pada kutipan “Seni, Warga, Kota, dan Wisata: Mau Dibawa ke Mana?”:

Percepatan pembangunan ini pun membawa Labuan Bajo mengalami peningkatan fungsi sebagai kota-kota pusat pertumbuhan nasional. Lantas membuatnya disematkan sebagai “kota sulap” atau alangkah beritikad disebutkan sebagai wilayah “kota yang cepat tumbuh”. Di kota ini, hal itu menuai berkat, tetapi tidak sedikit juga disertai dengan kemunculan perkara-perkara yang dihadapinya.

…warganya menghadapi lompatan kehidupan yang tampaknya amat singkat atau yang kita ketahui sebagai percepatan pembangunan.

(https://pestakampung.id/suara-dari-hulu/ diakses 25 Juni 2024)

Kutipan di atas jika diamati menunjukkan penyematan nama “kota sulap” sebagai metafora untuk melihat kegagapan para warga karena tiba-tiba menjelma sebagai kota yang bertumbuh begitu cepat. Kehadiran pariwisata di Labuan Bajo jika dipandang dengan status pencapaian dan statistik bisa jadi baik, tapi jika dalam kacamata warganya nampak persoalan sebaliknya, terutama adanya peminggiran warganya sendiri, bahkan hilangnya pengetahuan lokal. Pariwisata sebagai industri rumit, tak terduga, dan bagian dari globalisasi (Adams, 2022) memungkinkan tersingkirnya banyak pengetahuan dan budaya warga lokal karena menyesuaikan diri terhadap kedatangan orang luar. Kolektif Videoge5 menyadari bahwa,

…industri pariwisata berbasis budaya dibuktikan di berbagai wilayah memiliki banyak keunggulan ketimbang industri lainnya dalam peningkatan pendapatan devisa. Namun, dalam perkembangan itu tampak terjadi dominasi wisata dan komodifikasi kebudayaan sebagai bentuk transformasi nilai guna menjadi nilai tukar. Komodifikasi menunjukkan proses bagaimana produk-produk kultural dirumuskan sesuai dengan kepentingan pasar demi melayani dan menyenangkan hati wisatawan.

(https://pestakampung.id/suara-dari-hulu/ diakses 25 Juni 2024)

Kutipan di atas memperlihatkan maksud penyematan kota sulap, bahwa pariwisata dianggap membawa kebermanfaatan, tapi juga efek sebaliknya. Labuan Bajo yang dulunya kampung kecil di Pulau Flores dalam waktu singkat menjelma sebagai kota perwajahan Indonesia di mata dunia. Ia dirias sedemikian rupa, diberi label wisata premium. Namun, dalam konteks lebih dekat, Kolektif Videoge justru membaca bahwa industri pariwisata menyebabkan komodifikasi terhadap budaya yang menyebabkan perubahan kehidupan warganya karena mengikuti kepentingan pasar. Untuk itulah mereka meresponnya lewat gerakan orang muda yang memposisikan praktik kesenian pada isu-isu yang sehari-hari dan berbasis pengalaman personal, khususnya di Labuan Bajo melalui pergelaran budaya Pesta Kampung.

Pergelaran budaya “Pesta Kampung” dapat dilihat sebagai gerakan kolektif seni orang muda untuk mengupayakan swadaya informasi dan alih wahana pengetahuan lokal di tengah gempuran pembangunan pariwisata di Labuan Bajo. Pergelaran ini dilihat sebagai swadaya informasi karena dalam praktik pendokumentasian pengetahuan lokal, Kolektif Videoge bekerja mandiri dan menghadirkan sesuatu yang sudah tidak dijumpai di keseharian, tapi informasinya masih dijumpai dalam ingatan kolektif warga. Objek analisa fenomena ini adalah tapak maya dari laman pestakampung.id yang berisi beragam informasi mengenai Pesta Kampung. Laman pestakampung.id diposisikan sebagai media alternatif untuk merepresentasikan gerakan berdaya dari kampung. Laman ini menjadi pintu masuk untuk memahami wacana seni sebagai salah satu bentuk produk kebudayaan kolektif (Simatupang, 2023:2).

Laman pestakampung.id dianalisa dengan pendekatan agensi seni Alfred Gell (Simatupang, 2023; Gell, 1998) yang melihat seni secara prosesual. Gell menyebut adanya daya transformasi pada seni yang disebut: the technology of enchantment. Untuk itu seni dapat menjadi media untuk mereproduksi pengetahuan, membangun pendidikan yang menyadarkan, bahkan daya pelenting gerakan warga. Seni dapat memediasi nilai politik, membangun gambaran ihwal tataran kehidupan yang ideal, serta sarana berbagai pemahaman tentang fenomena dunia, yang jika dimaknai secara saksama dapat memungkinkan individu melakukan refleksi dan perubahan atas diri dan lingkungan sekitarnya (Khumairoh, 2023:24). Berangkat dari gagasan Gell artikel ini mengajukan argumentasi bahwa Pesta Kampung sebagai peristiwa seni yang mempunyai wacana dan ideologi untuk merepresentasikan wacana gerakan kolektif seni pasca reformasi di Indonesia, sekaligus menjadikan seni sebagai medium reproduksi pengetahuan.

Pasca Reformasi, bersamaan dengan terbukanya keran ekspresi dan kebebasan berkumpul sejak akhir periode 1990-an hingga awal 2000, bermunculan komunitas, ruang alternatif, dan kolektif seni yang tersebar di seluruh Indonesia, seperti Padang, Jakarta, Bandung, Cirebon, Jatiwangi, Yogyakarta, Semarang, Malang, Surabaya, dan Makassar (Darmawan, 2022:14). Kolektif seni yang bermunculan ini menjadikan seni sebagai media alternatif dalam mereproduksi pengetahuan sekaligus gerakan sosial masyarakat sipil: artivisme. Bentuk-bentuk gerakan seperti organisasi non-pemerintah dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang merupakan bagian penting dari pemberdayaan komunitas pasca-1998, menjadi bagian dari cara-cara organisasi kesenian beroperasi, sesuatu yang tidak banyak terjadi sebelum 1998 (Swastika, 2023:48). Meminjam pandangan Linda Tuhiwai Smith (2021) upaya kolektif seni ini dapat dilihat sebagai bentuk dekolonisasi pengetahuan.

Dekolonisasi pengetahuan dapat dilihat sebagai metode atau program yang dijalankan oleh warga untuk mengklaim pengetahuan tempatan yang lama terpinggir oleh kolonialisme. Menurut Smith (2021:xiii) penerapan dekolonisasi bukan sekadar mengkritik kolonialisme, melainkan membuka kemungkinan untuk mengetahui dan memahami dunia secara berbeda dan menawarkan solusi berbeda terhadap permasalahan yang disebabkan kolonialisme. Smith menyebut upaya dekolonisasi harus berpijak pada tujuan reclaiming knowledge.

Sekurang-kurangnya ada tujuh metode atau program yang penting digerakkan oleh pribumi untuk mewujudkan dekolonisasi (Rachman, 2023; Smith, 2021), yakni (a) kesaksian sebagai representasi bukti lisan, (b) meriwayatkan cerita, (c) koneksi yang memposisikan individu dalam serangkaian hubungan dengan orang lain maupun lingkungan, (d) penulisan, (e) penyusunan jaringan yang berarti mambangun pengetahuan dan basis data, (f) penciptaan sebagai penyaluran kreativitas kolektif, dan (g) berbagi yang berurusan dengan persoalan berbagi pengetahuan antar bangsa pribumi. Ketujuh metode tersebut perlu kita pahami sebagai proses berjalan dan saling terhubung. Metode dekolonisasi yang dilakukan Smith berkaitan dengan upaya dekolonisasi orang Maori terhadap cara pandang intelektual Barat sebagai penyumbang dampak negatif kolonialisme. Praktik tersebut yang juga dilakukan pada praktik telusur-rekam-salur yang dilakukan oleh Kolektif Videoge di Labuan Bajo melalui Pesta Kampung. Hal tersebut terlihat dari semangat yang mereka usung yang terlihat pada kutipan berikut.

Pesta kampung adalah festival proses. Festival tematik yang bertumpu pada pengetahuan setempat sebagai praktik alih wahana kesenian, budaya, pengalaman, dan pengetahuan sosial di sekitar kita dengan semangat ‘telusur-rekam-salur’.

Pesta Kampung bagian dari giat ‘telusur-rekam-salur’ yang diinisiasi oleh kolektif Videoge dalam menggerakkan praktik reproduksi pengetahuan setempat sebagai tumpuan mendasar dalam merancang dan mempraktikkan kegiatan kreatif-kontekstual, aktivasi kesenian dan budaya. Tak terkecuali sekaligus merespons secara kreatif persoalan atau situasi-situasi terkini.

(https://pestakampung.id diakses 30 Juni 2024)

 

Pesta Kampung: Ruang Berdaya Warga

Seiring dengan bentukan media terhadap Labuan Bajo sebagai kota yang bertumbuh begitu cepat, Kolektif Videoge merespon geliat pembangunan kepariwisataan terhadap kota ini dengan pendekatan pergelaran budaya sebagai inisiatif kolektif agar bisa tumbuh adaptif di antaranya. Mereka hendak memahat ulang pemaknaan atas pergelaran di kawasan pariwisata yang cenderung hanya mengkodifikasi budaya untuk kepentingan selera pasar. Untuk itu Pesta Kampung dilihat sebagai ruang keberdayaan warga. Keberdayaan itu terwujud karena sifat pergelaran budaya yang bukan sekadar hiburan semata, melainkan wadah yang membuka kesempatan bagi masyarakat untuk bertemu, bergiat, dan berinteraksi bersama-sama, berbangga atas laku keseharian mereka sebagai sebuah identitas budaya.

Dalam konteks tertentu, pergelaran budaya memang menjadi ajang pemberdayaan masyarakat atau menyediakan ruang untuk berdiskusi (pendidikan) mengenai suatu isu, seperti yang dilakukan oleh Kolektif Videoge yang membicarakan bagaimana geliat wisata, kota, seni dan warganya saling terhubung.  Menurut Maharani (2018:8) ketika sebuah pergelaran budaya konsisten dilakukan, ia berpotensi menjadi ruang publik, yang mencakup agenda pariwisata, sehingga mendorong mobilitas sosial serta meningkatkan permintaan jasa dan lapangan kerja.

Pesta Kampung menjadi produk budaya kolektif yang memposisikan warga sebagai pelaku aktif dan diapresiasi pengetahuan kesehariannya. Kolektif Videoge lewat Pesta Kampung memantik kesadaran kita terhadap istilah yang umum kita dengar, menyampaikan bahwa penggunaan kata pun dalam praktik kesenian juga politis atau memiliki daya. Misalnya interpretasi mereka terhadap diksi “kampung” yang dapat dilihat pada tulisan pengantar dari pendiri Kolektif Videoge, Aden Firman (2022) “Mengapa Pesta Kampung 2023: Festival Orang Biasa?” di laman pestakampung.id berikut.

Festival ini (Pesta Kampung) tak semata sebagai sebuah ‘skala’ kegiatan yang diperlebar sebagai aksi yang diinisiasi oleh kolektif Videoge namun demi mengembangkan praktik berkomunitas orang mudanya—justru yang telah hidup dalam keseharian di halaman kampungnya. ‘Kampung’ dalam perihal ini tak berhenti semata sebagai sebuah konsep ‘ruang’ namun memaknainya sebagai sebuah ‘halaman komunitas’. Pendirian itu membawa inisiatif ini ke dalam tatapan bahwa festival ini sebagai upaya penjejalan nilai kebersamaan dalam keseharian kita.

(https://pestakampung.id/index.php/festival-orang-biasa/ diakses 30 Juni 2024)

Melalui catatan tersebut terlihat bahwa Pesta Kampung menjadi wujud aktivasi kerja kolektif yang sudah ada di keseharian warga. Pada laman yang sama Aden Firman menyampaikan bahwa Pesta Kampung 2023 mengangkat tema “Festival Orang Biasa” sebagai ajang untuk mendorong hal-hal bermakna, melentingkan daya kolektif dan adaptif warga di Labuan Bajo ketika merespon pambangunan industri pariwisata. Budaya lokal (dalam bahasa Kolektif Videoge: pengetahuan tempatan) dijadikan sebagai dasar tumpuan melalui giat kreatif-kontekstual yang intens dan intim. Selanjutnya kata ‘biasa’ dalam tema dimaksudkan sebagai sikap bahwa Pesta Kampung merupakan hal yang mestinya tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, termasuk kedambaan membawa festival ini menjadi ‘biasa’, menjadi seringkali ada (Aden Firman, dalam pestakampung.id, 2022).

 

Telusur-Rekam-Salur: Modus Kerja Reproduksi Pengetahuan Kontekstual

Kolektif menjadi tempat belajar membaca keadaan juga kendaraan mengejar ketertinggalan keterampilan dan pengetahuan. Aden menyebut praktik-praktik yang dilakukan Kolektif Videoge sebagai alih wahana, atau kesenian sebagai cara memandang kondisi di Labuan Bajo yang tidak berhenti di wilayah artistik, tapi bagaimana praktik kesenian itu bisa dekat dengan warga, memiliki nilai fungsi yang memberi manfaat dalam hidup sehari-hari.

Penempatan pergelaran sebagai sebuah peristiwa berarti memposisikannya dalam cara pandang yang prosesual, melihat peristiwa di depan panggung dan belakang panggung. Demikian yang dilakukan untuk melihat Pesta Kampung sebagai sebuah festival proses. Proses yang dimaksud adalah giat Telusur-Rekam-Salur untuk menelusuri pengetahuan sosial, budaya dan kesenian di kampung halaman sebagai muatan inspirasi dalam memproduksi karya-karya kreatif. Proses tersebut dibayangkan serupa usaha menerbangkan pesawat ulang-alik, seperti yang dimuat pada tulisan Aden Firman (2024) “Pesta Kampung 2024: Suara dari Hulu” untuk mengantar Pesta Kampung 2024 di laman pestakampung.id berikut.

Pesta Kampung digerakkan sebagai wahana terkini dalam menumbuh-kembangkan kesenian, budaya, maupun kreativitas di kalangan orang muda. Itu bagaikan usaha menerbangkan pesawat ulang-alik. Sebelum muatannya mengorbit, armada perlu dimanuver dengan tenaga pendorong dan persediaan bahan bakar peluncurannya. Pokok dari itu juga adalah fungsi ulang-aliknya. Demikian sama pengertiannya dengan ‘telusur-rekam-salur’ sebagai metode di segenap lapisan kerja pengamatan, pendokumentasian, pengaryaan, dan penyebaran pengetahuan lokal yang kontinu dalam menyemai festival. Di sinilah proses-proses dan pengadaan produk kreatif menjadi penting ditempuh dengan pencatatan, dialog, eksplorasi gagasan, kolaborasi, praktik kolektif, dan turut serta pemajuan kondisi ke arah yang relevan membangun kota dengan kesenian.

(https://pestakampung.id/suara-dari-hulu/ diakses 30 Juni 2024)

Catatan tersebut memperlihatkan bahwa upaya Kolektif Videoge mengembangkan giat Telusur-Rekam-Salur sebagai proses alih wahana pengetahuan lokal melalui pendekatan eventual. Pendekatan eventual merupakan kata untuk menyederhanakan kata penelitian dan agar lebih dekat di kehidupan warga yang kini tumbuh bersama pariwisata. Alur Telusur-Rekam-Salur sebagai sebuah metode kerja dari riset hingga pembuatan karya dan penyelenggaraan event. Proses tersebut, menurut Aden bergulir seperti pesawat ulang-alik sebagaimana terlihat pada gambar berikut.

Alur Proses Praktik Telusus-Rekam-Salur. Sumber: Kolektif Videoge, 2023.

 

Gambar di atas memperlihatkan bagaimana tujuh metode yang ditawarkan oleh Smith (2021) sebagai praktik dekolonisasi pengetahuan dilakukan oleh Kolektif Videoge dalam penyelenggaraan Pesta Kampung. Upaya tersebut tercermin dalam kegiatan Rekam Kampung Lama. Kegiatan ini dilihat sebagai pendekatan eventual, reproduksi pengetahuan, pendokumentasian dan pengarsipan, eksperimen dan proses kreatif, kampanye bersama, swadaya informasi, branding kampung, pelatihan/lokakarya, jejaring komunitas lintas wilayah, residensi seniman, kewirausahaan komunitas, serta kerja bersama warga dan antar pihak. Keseluruhan agenda tersebut selaras dengan praktik perlumbungan budaya yang tengah berkembang di Indonesia, bahkan dijadikan sebagai metode aksi dalam Pekan Kebudayaan Nasional tahun 2023.

Praktik perlumbungan diposisikan menjadi metode aksi dalam pergelaran dibagi dalam tiga fase, yakni rawat, panen, dan bagi. Rawat menjadi fase persiapan yang berfokus pada kegiatan residensi dan penelitian oleh seniman, peneliti, juga warga. Hasil rawat ini kemudian dikumpulkan dan didokumentasikan pada fase panen untuk dialihwahanakan menjadi bentuk apresiasi, edukasi, dan kreasi para peserta. Fase bagi menjadi puncak yang ditandai dengan pembagian seluruh karya agar bisa dinikmati oleh khalayak umum melalui pameran, tur, perjamuan, pemutaran, pagelaran, konferensi, lokakarya, dan penerbitan.

Giat telusur-rekam-salur atau pendekatan eventual yang telah diinisiasi dan dikembangkan oleh Kolektif Videoge melalui Pesta Kampung adalah model yang perlu kita diseminasikan di banyak tempat. Pendekatan ini penting mengingat semangatnya yang berakar pada model-model pengetahuan lokal, mengakomodir suara yang tersirat warganya, tentunya melihat warga sebagai subjek yang berdaya. []

 


Catatan Kaki

[1] Rosary, Ebed de. 2020. Begini Tren Pariwisata di Labuan Bajo Pasca Pandemi. Dapat diakses melalui https://www.mongabay.co.id/2020/06/04/begini-tren-pariwisata-di-labuan-bajo-pasca-pandemi/ tanggal 24 Juni 2024, Pukul 23:57 WIB.

[2] Ndau, Romanus. 2022. Menyelamatkan Pariwisata Labuan Bajo. Diakses melaluihttps://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/28/menyelamatkan-pariwisata-labuan-bajo tanggal 24 Juni 2024, Pukul 23:57 WIB.

[3] Parapuar merupakan kawasan hutan yang dikelola oleh Kemenparekaraf melalui Badan Pelaksana Otorita Labuan Bajo Flores (BPOLBF) yang masuk sebagai satu dari delapan proyek strategis nasional (PSN). Lebih lengkapnya lihat tautan https://indonesia.go.id/kategori/pariwisata/7534/parapuar-paket-lengkap-wisata-baru-di-labuan-bajo?lang=1 tanggal akses 11 Agustus 2024, Pukul 16:50 WITA.

[4] Ibid.

[5]  Videoge merupakan ruang ekspresi dan mandiri ataupun saluran yang mengutamakan praktik kolektif dan laboratorium kreativitas dalam produksi dan kearsipan pengetahuan; penciptaan karya, inisiasi pagelaran dan kewirausahaan bersama berupa audio-visual dan buletin/zine melalui diskusi, menonton video, pameran, aktivitas musik, piknik serta beragam kegiatan kolektif lainnya. Kolektif ini diinisi oleh anak muda Labuan Bajo yang pulang dari merantau atau sekolah untuk bisa berdaya di kampung halamannya (https://maigezine.net/tentang/ diakses 30 Juni 2024).

 

Referensi

Adams, Kathleen M. “Art as Politics: Re-Crafting Identities, Tourism, and Power in Tana Toraja, Indonesia”. Diterjemahkan oleh Anwar Jimpe Rachman. 2022. Seni sebagai Politik: Memahat Ulang Identitas dan Kuasa Lewat Pariwisata di Toraja. Makassar: Penerbit Ininnawa

Darmawan, Ade. 2022. Berakar dan Menjalar: Lumbung sebagai Modal Ekonomi dan Estetika Organisasi Seni. Pidato Kebudayaan. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta

Firman, Aden. 2022. Mengapa Pesta Kampung 2023: Festival Orang Biasa?. Diakses melalui  https://pestakampung.id/index.php/festival-orang-biasa/ tanggal 30 Juni 2024, Pukul 21:34 WIB.

Firman, Aden. 2024. Pesta Kampung 2024: Suara dari Hulu. Diakses melalui https://pestakampung.id/suara-dari-hulu/ tanggal 25 Juni 2024, Pukul 22:24 WIB.

Gell, Alfred. 1998. Art and Agency: An Anthropological Theory. New York: Oxford University Press

Hidranto, Firman. 2023. Parapuar, Paket Lengkap Wisata Baru di Labuan Bajo. Diakses melalui https://indonesia.go.id/kategori/pariwisata/7534/parapuar-paket-lengkap-wisata-baru-di-labuan-bajo?lang=1 tangga akses 11 Agustus 2024, Pukul 16:50 WITA.

Khumairoh, Izmi. 2023. “Dimensi Sosio-Antropologis dalam Apresiasi Seni: Suatu Upaya Membumikan Wacana Seni di Publik”. Newsletter Yayasan Biennale Yogyakarta: The Equator, 11 (1), hlm. 23-27

Kolektif Videoge. 2023. “Keseharian, Kesenian, dan Kepariwisataan: Sebuah Upaya Swadaya Informasi dan Alih Wahana Praktik Kreasi Orang Muda di Labuan Bajo”. Bahan Paparan yang disampaikan dalam Urun Rembuk: Melihat Desa dalam Tanda Kutip. Yogyakarta: Biennale Forum x Kongres Kebudayaan Desa.

Maharani, Annayu. 2018. “Investasi Kebudayaan untuk Masa Depan”, dalam Dampak Seni di Masyarakat. Jakarta: Koalisi Seni Indonesia

Ndau, Romanus. 2022. Menyelamatkan Pariwisata Labuan Bajo. Diakses melaluihttps://www.kompas.id/baca/opini/2022/07/28/menyelamatkan-pariwisata-labuan-bajo tanggal 24 Juni 2024, Pukul 23:57 WIB

Rachman, Anwar Jimpe. 2023. “Usaha Serius Bermain dan Hindari Cara lama”. Dalam Riwayat Gunung dan Silsilah Laut. Makassar: Yayasan Makassar Biennale dan Tanahindie

Rosary, Ebed de. 2020. Begini Tren Pariwisata di Labuan Bajo Pasca Pandemi. Dapat diakses melalui https://www.mongabay.co.id/2020/06/04/begini-tren-pariwisata-di-labuan-bajo-pasca-pandemi/ tanggal 24 Juni 2024, Pukul 23:57 WIB

Simatupang, GR. Lono Lastoro. 2023. “Relevansi Antropologi dalam Kajian Kesenian di Indonesia”. Jurnal Antropologi: Isu-Isu Sosial Budaya, (25) 1, hlm 1-8

Smith, Linda Tuhiwai. 2021. Dekolonizing Methodologies: Research and Indigenous Peoples (Edisi ke-3). London: Zed Books

Swastika, Alia. 2023. Dari Protes ke Proses: Praktik Seni Pasca Reformasi. Yogyakarta: Warning Books


                                    
About The Author

Aktif bergiat di Antropos Indonesia. Senang melakukan perjalanan dan menulisnya dalam buku dan media daring. Bukunya yang terbit, Asa di Selimut Duka (2021), Kembali ke Rumah: Catatan Lapangan Perjalanan Pulang (2022), Meraya di Halaman: Perjalanan Menemukenali Wajah Nusantara (2023). Buku lainnya, Rumata’: Dua Belas Tahun Membangun Kebudayaan, ditulis bersama tim peneliti dari Antropos Indonesia dan diluncurkan di Makassar International Writers Festival (MIWF) 2023. Masli tertarik pada isu-isu pemberdayaan masyarakat, pariwisata, kolektif seni, kebencanaan, kemaritiman, dan pemajuan kebudayaan. Terlibat sebagai penulis dalam berbagai program pengarsipan program pergelaran budaya, seperti Daras Etno (Makassar, 2024), Batang-Batang Rupama (Makassar, 2024), Festival Kiamat Ekosistem (Yogyakarta, 2024), Sinema Regional Indonesia (Makassar, 2024) dsb. Saat ini menempuh Program Magister Antropologi di Universitas Gadjah Mada dengan minat pemberdayaan. Dapat dihubungi melalui instagram @abdulmasli dan surel: abdulmasli01@gmail.com

Post a Comment

Translate »
You don't have permission to register