
Sebuah Swadaya Informasi: Mengapa Buku Resep Tetangga Pernah Ada?
Pilihan untuk fokus dalam kerja pengarsipan pengetahuan tempatan secara kreatif yang kami giatkan dan sadari, paling tidak sejak 2016 melalui kolektif Videoge di Labuan Bajo kelak mempertemukan kami dengan komunitas inisiatif warga lainnya di Nusa Tenggara Timur.
Videoge mulanya adalah ide bagi nama kanal distribusi serial video yang saya diskusikan bersama Amir Hamza. Kanal itu kami bayangkan berfungsi sebagai media penyaluran rilisan video tentang apa saja yang terjadi saat itu di kampung halaman kami. Konten-kontennya dibayangkan berbentuk dokumenter meski sesungguhnya belum serius kami cobakan.
Tidak sempat sepenuhnya memproduksi ide itu, Videoge lantas berkembang menjadi wahana mandiri, kolektif seni dan multimedia yang menjadikan pengetahuan di kampung halaman sebagai inspirasi atau semacam embrio berkarya. Selanjutnya, Videoge menggelar kegiatan-kegiatan produksi kreatif dan mengabarkan kegiatan-kegiatan itu melalui rilisan cetak majalah mini yang diberi nama Maigezine sejak tahun 2019.
Dua tahun berjalan, kami mengoptimalkan semua yang bisa dijangkau dalam bentuk-bentuk kreatif, yang dapat dipandang sebagai tools untuk mengupayakan praktik pendokumentasian pengetahuan dan pengalaman warga. Setidaknya, kami telah berusaha memulainya dengan merekam dan mengabarkan secara mandiri aktivitas yang kami giatkan.
Ragam praktik yang saya maksudkan di atas terwujud antara lain dalam (1) Proyek Kolong Rumah dalam rentang 2010 hingga 2019. Proyek kecil ini semacam jenama arena bermain, belajar bersama dan praktik berkomunitas yang diinisiasi baik secara individu maupun berkelompok. Pada dasarnya, hal ini terjadi berkat semangat perkawanan beberapa pemuda kampung yang sebagian besar masih berkuliah dan memiliki hobi yang sama saat mengisi waktu liburan kuliah.
Dari belajar merekam lagu sendiri dengan peranti komputer, sempat ikut juga dalam kegiatan bakti sosial dan membagi sembako dan pakaian bekas, bikin seminar pendidikan, hingga menggelar semacam demonstrasi seni dan rampak perkusi untuk merespons isu nelayan di perairan Taman Nasional Komodo, memberi alternatif pagelaran seni, mengkritik pagelaran Sail Komodo dengan pertunjukan tatap muka di Pantai Pede, belajar bikin film pendek, nonton bareng dan diskusi, bikin kelas belajar, hingga menggelar pameran dan pertunjukan musik.
Meski kegiatan-kegiatan itu sempat dinilai sebagai pencarian jati diri tetapi berkatnya, serangkaian percobaan- percobaan itu membawa sebagian dari kami menemukan bentuk-bentuk praktik belajar yang organik dan kolektif hari-hari ini. Rasa-rasanya, praktik serupa cukup memungkinkan untuk terus dilakukan dalam bentuk-bentuk yang kami butuhkan di masa mendatang.
Pada pertengahan 2019, (2) rilisan berkala buletin lantas mengudara melalui webzine maigezine.net hingga sekarang. Pada tahun yang sama (3) menggelar kegiatan piknik sambil berkarya dalam Pesiar: Satu Hari Satu Pulau dan (4) menginisiasi rekaman pertunjukan musik bertajuk Videoge Live Sessions (2019 – sekarang). Tahap pra produksi dari masing-masing aktivitas kami kembangkan menjadi sebuah platform yang diberi nama Sapa Tetangga Hari Ini. Platform ini menjadi kesempatan belajar dalam bentuk observasi atau riset penciptaan karya sebelum dipresentasikan.
Pada Februari 2021, kami menemukan kebutuhan untuk menyewakan ruang bekerja dan belajar bersama dengan nama Bawakolong. Tujuannya adalah merangsang usaha dan kreasi dalam bentuk-bentuk kewirausahaan bersama, juga terutama sebagai laboratorium produksi pengetahuan yang mungkin terjadi dalam kelompok belajar ini—meskipun hasrat itu sudah pernah terbayangkan sebelumnya dalam bentuk-bentuk yang sesungguhnya belum kami kenali. Bawakolong lantas tercatat sebagai salah satu ruang budaya dan creative hub di Labuan Bajo dalam penelitian Cultural Cities Profile East Asia yang dirilis British Council pada 24 Mei 2021.
Sejak itu, kegiatan pameran digelar demi mengupayakan bentuk-bentuk distribusi aktivitas di Bawakolong, pertama kali hadir dengan tajuk Semacam Pameran: Gambar Tangan dan Seni Realitas Tambahan sebagai rangkaian peluncuran space to grow ini. Setahun kemudian, kemungkinan berpameran terjadi lagi melalui jejaring seni rupa dan literasi kota yang dihelat Yayasan Makassar Biennale dan Tanahindie.
Pertama-tama, aktivitas antarjejaring ini menghasilkan buku Siasat Pengobatan Warga Selat Makassar, Laut Flores, hingga Teluk Cenderawasih sebagai bagian dari pra-event Makassar Biennale. Videoge berkesempatan bekerja bersama dalam kelompok enam belas penulis yang tersebar di enam kota di Indonesia Timur (Makassar, Pare-Pare, Bulukumba, Pangkep, Nabire, dan Labuan Bajo).
Makassar Biennale berlanjut dengan rangkaian pameran bertema Maritim: Sekapur Sirih di enam kota itu. Lantas, yang diupayakan sebelumnya dapat pula kami sarikan dan bawa ke dalam tajuk Paradakea: Eksibisi Menyala Dalam Gelap, pameran yang diinisiasi oleh Videoge di Labuan Bajo. Salah satu karya yang ditampilkan berangkat dari proses riset kecil yang dilakukan Citra Kader mengenai pengalaman memasak dari lima tetangganya di Kampung Tengah. Karya itu menghasilkan tiga puluh resep yang dicetak menjadi booklet juga catatan tangan berisi resep ikan kuah asam yang membawanya ke lokakarya Kreasi Ikan Kuah Asam sebagai bentuk inovasi masakan itu dengan kandungan kondimen yang ia kembangkan sendiri.
Tampaknya proyek riset sederhana itu kian berkembang. Gayung bersambut. Paling tidak upaya itu semakin dipertebal dalam kegiatan yang kami wujudkan dalam skema kerja Rekam Kampung Lama, hingga ada kebutuhan untuk merancang program DapurPecah, sebuah “Unit Masakan dan Kreasi Makanan” yang meniru singkatan dari UMKM. Program ini memungkinkan kami menuai produk-produk inovasi kuliner sebagai salah satu modal kewirausahaan komunitas yang tak terlepas dari potensi yang dimiliki anggotanya.
Program yang dinahkodai Citra ini bereksperimen dengan bahan-bahan pangan setempat dalam bentuk-bentuk yang dibarukan dan bertumpu pada narasi pengetahuan yang melatari masakan itu. Amat penting pula menjadikan proses kreasi makanan dalam program ini sebagai produk pengetahuan warga dalam komunitasnya, sekaligus terekam dengan baik sebagai arsip dokumentasi atasnya dengan pendekatan terkini. Hasilnya diharapkan selain bermanfaat dalam penyebaran pengetahuan, juga bernilai ekonomis dengan membawa produk-produk lokal ini hingga ke gerai-gerai belanja sebagaimana produk makanan setempat lainnya. Buku resep ini seperti dihadirkan sebagai “pelumas” atau semacam sumber inspirasi dalam proses-proses kreatif pembuatan makanan yang dibarukan.
Pertengahan Maret 2021, saya dihubungi Dicky Senda via WhatsApp, diajak membuka kesempatan belajar bersama lintas komunitas. Dasarnya, ada kemiripan dalam kegiatan produksi dan distribusi pengetahuan warga di beberapa komunitas di NTT belakangan ini. Yang saya ingat dalam obrolan itu, kami membicarakan isu kampung dan kota sesuai dengan konteks dan kebutuhan di masing-masing komunitas. Setahun kemudian, rencana kerja lintas komunitas itu berbuah inisiatif Kampung Katong, kolaborasi bersama RMI (Bogor), Lakoat.Kujawas (Mollo), SimpaSio Institute (Larantuka), dan Videoge (Labuan Bajo).
Kampung Katong secara harfiah berarti ‘kampung kami’, berasal dari frasa “kami pung manekat/ papada/ kampong tanga” yang dilatari kesepahaman kami atas artian ‘kerja bersama’ atau ‘gotong-royong’ dari masing-masing dialek tempat tiga komunitas/kolektif ini bergiat (Mollo/ Labuan Bajo/ Larantuka). Inisiatif Kampung Katong kami terjemahkan dalam tajuk utama Rekam Kampung Lama yang berisi riset, menulis, dan proyeksi seni dalam bentuk dan pengertian yang seluas-luasnya, sebagai upaya merekam dinamika pengetahuan dan pengalaman warga di tempat tinggalnya. Kolektif Videoge terdiri dari sekelompok pemuda, warga yang belajar merancang secara mandiri formula untuk cita-citanya yang bakal dikerjakan secara berangsur hingga 2023 mendatang.
Dalam rentang April hingga Juni 2021, kolektif Videoge menggelar pengadaan data atau semacam swadaya informasi dan pengetahuan warga di bidang kuliner. Kami merekam “warga dan apa saja yang kita makan” di pesisir Labuan Bajo. Proses itu berbuah draft buku yang berisi 64 daftar resep masakan serta seri baru untuk produksi video dokumenter mikro (microdoc) khusus kuliner bernama TelusuRasa dengan menelurkan episode perdana, Satu Rasa dalam Tiga Nama.
Ini sengaja dilakukan sebab kami menyadari bahwa ada keterbatasan bahkan tidak tersedianya dokumen atau arsip pengetahuan warga yang lebih spesifik di bidang kuliner, di tempat kami tinggal dan komunitas ini bergiat. Meski upaya ini dilakukan sesuai lini masa dan kerangka kerja Kampung Katong dalam agenda ‘Pengarsipan dan Pendokumentasian’, tampaknya usaha yang kami buat melampaui itu. Karena tidak tersedianya arsip yang dapat digandakan dan didokumentasikan, kami harus menggali kembali pengetahuan-pengetahuan yang terkubur dan tersembunyi, lantas menjadikannya ada dahulu.
Pembuatan buku resep dan serial video microdoc yang sedang digarap ini merupakan salah dua dari sekian kemungkinan bentuk dari produk pengetahuan yang mestinya dapat terwujud oleh sokongan proses riset dan penulisan yang berjalan beriringan dengan kegiatan produksi kreatif lainnya selama setahun mendatang. Dengan demikian, buku resep ini tetap berpeluang untuk disempurnakan lagi kelak sebab kami menyadari masih ada menu-menu makanan yang belakangan baru kami temui setelah draft buku resep ini dibuat.
Meski giat Rekam Kampung Lama bagi kolektif Videoge lantas berfokus di wilayah pesisir Labuan Bajo, jelajah spasialnya dimungkinkan melebar jika praktik-praktik serupa ini bisa dibentang bersama dalam ragam kolaborasi supaya kerja-kerja baik ini dapat bernafas lebih lama. Namun, bagaimana yang luas itu dapat terjadi jika tak dimulai dengan yang terkecil dan paling dekat, yang telah ada di tempat kita tinggal sejak kecil? Siapa yang memungkinkan semua itu terlaksana? Tentu bukan hanya saya atau kolektif ini.
Aden Firman
Bawakolong Studio, 11 Juli 2022
Artikel ini merupakan catatan pengantar dalam buku “Resep Tetangga: Kumpulan Resep Masakan Warga Pesisir Labuan Bajo” dengan judul “Sebuah Swadaya Informasi: Mengapa Buku Resep Ini Ada?” yang diterbitkan pada 2022. Merupakan bagian dari seri perdana pra festival Pesta Kampung 2023 dalam program Kampung Katong. Sekaligus menjadi buku pertama Videoge yang dikerjakan dengan cukup serius. Catatan ini sengaja dialihkan dari medium cetak ke daring untuk menandai dua hal penting dan terhormat di bawah ini.
Pertama, saat ini Amir Hamza dan Citra Kader secara kelembagaan tak lagi bersama Videoge sejak pasca Pesta Kampung 2023, tetapi semangat program DapurPecah masih dilanjutkan sampai saat ini. Kedua, DapurPecah kini dialihkan menjadi subprogram komunitas dalam program utama Penelitian, Seni dan Inovasi.