
Festival sebagai Ruang yang Hidup dan Menghidupkan
oleh Fitri Ciptosari, dosen program studi Manajemen Pemasaran Internasional Politeknik eLBajo Commodus.
Sesi bincang tematik “Festival sebagai Ekosistem” menelurkan pertanyaan pemantik yang sederhana untuk membuka kemungkinan diskusi yang meluas. Sebagai ekosistem, sebagai ruang hidup, festival mau menghidupkan apa? menghidupkan siapa?
Di tengah maraknya arus pariwisata, festival makin kerap digelar. Pertanyaan yang paling mendasar seringkali terdengar: apakah festival lebih kuat sebagai ruang jumpa sosial-kultural atau sebagai ruang komersial? Apa idealisme yang sebenarnya ingin dijaga? Adalah sebuah pertanyaan kritis yang layak tetap menggema untuk merespons pemahaman festival sebagai ruang jumpa. Dari pertanyaan-pertanyaan itu, memantik beragam perspektif yang menunjukkan bahwa festival tak dapat disederhanakan hanya sebagai sebuah acara, melainkan ekosistem yang kompleks.
Belajar dari Pesta Kampung, diskursus tentang festival sebagai ekosistem memungkinkan terasah dan terarah juga terus diperbincangkan. Begitu pula pertanyaan yang cenderung dikotomis perihal apakah festival lebih kuat sebagai ruang sosial-kultural atau ruang komersial?
Dari kacamata antropologis, Abdul Masli justru menawarkan pandangan yang lebih komprehensif. Menurutnya, festival dapat dibaca melalui beragam pendekatan baik struktural, institusional, dialektis, hingga kultural. Dengan multiperspektif semacam ini, tafsir tentang festival menjadi lebih kaya dan tidak terjebak pada dikotomi semata.

Bincang tematik dalam seri terakhir Pesta Kampung (PK) 2025 melalui peluncuran dan bincang buku “Festival sebagai Ekosistem”. Seri pesta terakhir PK2025 ini digelar dari 15 sd. 20 September, difasilitasi oleh Videoge Arts and Society. Dari kanan, pemantik bincang bersama Fhesty Maria (Festival Golo Koe), Aden Firman (Videoge), Abdul Masli (Antropos Indonesia), dan Berry Unggas (moderator, Teater Siapa Kita). (Foto oleh Tim Dokumentasi PK2025)
Pandangan yang bertalian datang dari Fhesty Maria, yang mengulas pengalaman Festival Golo Koe bahwa festival dapat menjadi ruang integral, di mana sosial-kultural dan komersial tidak lagi dipertentangkan, melainkan saling menyatu dan menopang. Sementara Aden Firman bersama komunitas Videoge, memandang festival sebagai spektrum. Analogi paling mudah adalah spektrum cahaya, di mana cahaya putih mengandung gabungan banyak warna. Begitu dalam festival, ‘spektrum’ menggambarkan warna-warni sebagai ragam kegiatan yang ada di dalamnya.
Perspektif ini menemukan relevansinya dalam dinamika pariwisata Labuan Bajo, di mana dikotomi sosial-kultural versus komersial menjadi relevan untuk ditinjau ulang. Disebutkan bahwa 80% aktivitas wisatawan masih terkonsentrasi di laut. Shesar Andriawan menyerukan bahwa festival dapat menjadi strategi diversifikasi untuk mengalihkan sebagian aktivitas ke darat, demi pemerataan manfaat dan keberlanjutan. Di balik gagasan ini, terselip misi besar yang mesti dititipkan dalam setiap penyelenggaraan festival, sebagaimana menjaga keseimbangan, melestarikan alam, menyelamatkan satwa dengan ekosistemnya.
Dari sudut pandang Pesta Kampung, misi semacam itu mendudukkan cara lain. Kali ini, tak hanya alam , melainkan juga karya dan talenta, perilaku dan manusianya. Ada upaya dari festival yang menghadirkan ruang apresiasi bagi karya lokal. Seperti diungkapkan Baban Rabani, karya yang baik bukanlah karya yang ramai dibicarakan, melainkan yang hadir, dinikmati, dan menyalakan kebanggaan. Dengan cara itu, festival menjadi spektrum suara lokal, suara yang diperkuat agar dikenali, diingat, dan dicintai. Misi ini melampaui sekadar merawat alam, tetapi juga membangun hati dengan dignity.

Book Station diaktivasi oleh Klub Buku Petra dengan membuka pasar buku di seri terakhir Pesta Kampung 2025. Kedai buku yang diaktifkan bersama berupa perpustakaan, bincang buku, platform Bacapetra.co, dan yang lain-lain yang digerakkan Klub Buku Petra dari Ruteng. Tampak mahasiswa kampus Poltek eLBajo Commodus sedang mewancarai pengelola Kedai Buku Petra di area belanja dan baca buku. (Foto: Tim Dokumentasi PK2025)
Perspektif lain datang dari Beato Lanjong, pustakawan Klub Buku Petra, yang mengibaratkan festival dengan toko buku. Toko buku pada dasarnya menghidupkan literasi terlebih dahulu. Dimulai dari mengedukasi, menumbuhkan minat baca, kemudian menghasilkan nilai ekonomi dari penjualan buku. Analogi ini membuka refleksi penting, bahwa festival sebagai ekosistem tidak semata-mata menghidupkan ruang sosial-kultural atau ruang komersial, melainkan menghidupkan well-being, keadaan di mana kualitas hidup individu dan komunitas menjadi lebih bermutu. Dengan cara itu, festival terbaca sebagai ruang hidup manusia, ruang penyadaran , edukatif i, rekreasi literatur , dan pada akhirnya juga berdampak secara ekonomi.
Dalam diskusi ini, peran manusia tampak disoroti. Komunitas, khususnya anak muda, menjadi penting untuk dijadikan inti dari obrolan tentang festival. Mereka adalah penentu kualitasnya. Festival adalah wajah komunitas: wajah pewaris tradisi, wajah penuh talenta, wajah optimis dengan karya, wajah yang terbuka pada dunia, sekaligus wajah yang mengelola cerita serta mengemas nilai.
Pada akhirnya, cermat jika festival dimungkinkan juga sebagai instrumen membangun citra destinasi dan branding pariwisata. Keberhasilannya ditentukan oleh sejauh mana komunitas mampu mengemas perjumpaan yang berkesan dan menghadirkan pengalaman yang otentik, hangat dan penuh nilai.
Gagasan bahwa komunitas adalah inti dari kualitas festival bisa semakin nyata. Membangun pengalaman berfestival peserta didik misalnya. Tahun ini mahasiswa Prodi Manajemen Pemasaran Internasional (MPI) Politeknik eLBajo Commodus terlibat sebagai relawan penyelenggara Pesta Kampung. Dalam kacamata pendidikan, keterlibatan mereka di festival merupakan bentuk experiential learning, metode pembelajaran khas Politeknik di mana peserta didik terlibat langsung dalam proses kerja, lalu merefleksikannya dalam catatan pembelajaran. Dari refleksi itu, terungkap tiga lapisan pembelajaran. Pertama, festival sebagai proses sosial dan ruang interaksi antar warga; kedua, festival sebagai medium penyampaian pesan-pesan moral; ketiga, festival sebagai pembentuk etos kerja melalui pengalaman mengatur waktu, tim, dan pencapaian target.

Bincang tematik “Pemasaran dan Pariwisata dalam Event” yang difasilitasi (program host) oleh Program Studio Manajemen Pemasaran Internasional (MPI) Politeknik eLBajo Commodus, 16 September 2025 di seri terakhir Pesta Kampung 2025 dengan tajuk utama “Hilir Mudik”. Dari kiri, Adelaide Savio (dosen MPI), Baban Rabani (Videoge), Shesar Andriawan (Plt. Direktur Pemasaran Pariwisata BPOLBF), Jane Renardo (mahasiswa MPI). (Foto oleh Tim Dokumentasi PK2025)
Sampai pada titik ini, festival terbaca sebagai ruang jumpa yang menghidupkan. Menghidupkan siapa? Menghidupkan mereka yang tinggal dan singgah. Menghidupkan mereka yang belajar. Sebuah ruang jumpa yang mempertemukan warga dengan warga, karya dengan penikmatnya, tradisi dengan modernitas, serta budaya dengan ekonomi. Festival bukan hanya pertemuan antar-individu, melainkan juga pertemuan antar-ide, antar-nilai dan antar-hasil karya. Dari perjumpaan inilah manusia dihidupkan dan tercerahkan, bukan hanya dengan orang lain, tetapi juga dengan karya, dengan nilai, dengan catatan masa lalu, dan dengan pesan masa depan.
Dari keseluruhan pandangan ini, festival tampak sebagai ekosistem yang utuh. Ia bisa dipahami dalam dikotomi, integral, maupun spektrum. Ia bisa berfungsi sebagai strategi diversifikasi aktivitas wisata, sebagai ruang apresiasi karya lokal, sekaligus sebagai instrumen branding berbasis komunitas. Namun yang paling penting, festival adalah ruang hidup yang menghidupkan well-being: merawat budaya, membuka ruang sosial, memperkuat literasi, dan pada akhirnya menciptakan dampak ekonomi yang berkelanjutan.

(Kiri) Merchandise Station yang diisi oleh Bawakolong Artshop dan Disini-Seni Carfty yang memerkan dan menjual karya-karya seniman dan crafter di Labuan Bajo dan jejaring seniman Flores. (Kanan) Tiba-Tiba Dagang Gelombang ke-6 yang rutin digelar Videoge Arts and Society setiap tahun dengan partisipasi unit usaha rintisan anak muda dan warga setempat. (Foto: Tim Dokumentasi PK2025)
Saya menuliskan refleksi ini sebagai peserta dua bincang tematik Pesta Kampung, peluncuran dan bincang buku “Festival sebagai Ekosistem” (15 September 2025) dan “Pemasaran dan Pariwisata dalam Event” (16 September 2025). Sekaligus sebagai dosen Prodi MPI. Namun lebih dari itu, saya menulisnya sebagai seorang pembelajar sepanjang hayat. Bagi saya, setiap festival adalah kelas terbuka, setiap perjumpaan adalah guru yang memberi pelajaran. Dari perjumpaan dengan orang, dengan karya, dengan nilai, saya belajar bahwa festival bukan sekadar pesta, melainkan ruang hidup yang terus menghidupkan. []